Mementingkan Diri Sendiri Dulu
Aku mendengar jeritan lelah, tangis yang memberontak setelah ponselnya berdering beberapa kali. Tangisnya tersengal, diiringi instrumental sedih.
Setelah aku berjingkrak, melihat cermin di kanan dan kiriku, ternyata itu adalah visualisasiku. Visualisasi lelah, bosan, dan derita. Dalam sendirinya, meski sebelumnya menyantap es krim banyak dengan roti coklat andalannya, tak bisa menjadikan deritanya pergi. Tubuhnya tetap terbungkus marah. Sepertinya, sudah lama ia memendam tangisnya.
Cuciannya banyak, toples cemilannya berceceran, hingga setumpuk buku menggunung di kasur. Energinya benar-benar habis. Tapi selalu ada celah untuk dihabiskan bersama tangis. Ia ingin dipeluk, ditemani, dan dipahami. Dan sayangnya, dunia belum bisa sepenuhnya memberikan itu. Ia lebih banyak memeluk, memahami, dan menemani. Entah harus berapa banyak lagi usaha tersebut ia lakukan, supaya Tuhan memberikannya hal serupa.
Hari ini, dalam pantulan cerminku yang juga memantulkan narasi yang baru saja ia lakukan. Katanya, ia juga berhasil mensenyapkan postingan teman dekat yang baginya cukup menghabiskan energi. Ia belum sembuh dari duka, sehingga memutuskan tak ambil pusing dulu dengan duka orang lain. Ia belum cukup handal mengendalikan emosi sedihnya, sehingga memutuskan untuk jeda dulu dengan postingan orang lain yang konteksnya setiap hari sedih. Bagus, kataku. Ia sedang merawat diri, setelah sekian lama fokus kepada bagaimana ia harus perhatian ke orang lain.
Ada begitu banyak kejadian yang membuatnya risau akhir-akhir ini. Rekan kerjanya yang menyebalkan, ditipu oleh penjual barang elektronik, sanak saudara yang menerornya karena ingin menggali uang lebih banyak, hingga merasa terasing sebab tak ada cerita keluarga yang harus ia ceritakan selama semua orang bercerita keluarganya. Semua hal, begitu berat baginya. Sehingga rasanya bangga, setelah aku tahu ia sedang melakukan serangkaian usaha untuk menenangkan dirinya.
Duhai, gadis yang saat ini ada di pantulan cerminku, kadang pantulan kanan atau kiriku. Terima kasih. Keputusanmu untuk beranjak, mementingkan diri sendiri dulu, tak mengangkat dulu telepon mereka yang seolah menagih haknya padahal ingin memanfaatkan saja, adalah keputusan yang sepenuhnya aku dukung. Jangan gentar, yah! Mari tenanglah dulu, sembari menangis tanpa ragu, bentuk pengeluaran emosimu.
— Narasi Analogi — Akhyatun Nisa