Mata Berat

Akhyatun Nisa
2 min readOct 9, 2024
Source : https://pin.it/3Rn9DIiBn

Beberapa hari terakhir, sudut mataku melemah. Tak tahan dengan angin malam karena sepanjang jalan, mataku seolah ingin terus terpejam. Perih, mengantuk, dan berat. Sayangnya, meskipun perjalanan tersebut mengisyaratkan lelah, sesampainya aku di kamar, mataku tak terpejam. Terjaga sampai pukul satu pagi, atau justru dua pagi.

Semua memori terus berputar, satu sama lain saling mengantre untuk dapat aku tonton. Jika tiba giliran memori menyedihkan, aku menangis dan kesal. Pernah suatu hari aku menyengajakan diri membaca buku, tapi apalah daya. Karena aku suka membaca buku, mataku justru semakin terjaga. Pernah juga aku menyengajakan diri menonton film, tapi apalah daya. Aku adalah manusia sensitif. Setiap adegan apapun yang membuatku ter-trigger, aku menangis. Hasilnya, mataku lebam keesokan harinya.

Pekan kemarin aku sering lembur. Pergi pagi pulang malam seolah aku normalisasikan. Tubuhku mungkin lelah, batinku mungkin melemah, tapi aku terus berpura-pura tak masalah. Pemberontakan itu, barangkali adalah pemberontakan yang akhir-akhir ini membuatku bingung, "apa yang sebenarnya terjadi padaku?". Karena rasanya, penyebab aku merasa stress di pekerjaan sudah terminimalisasi. Konfik keluarga yang membuatku terusik juga sudah ditangani.

Hari ini aku memusatkan bias diri di sepanjang jalan pulang. Memperhatikan beberapa hal yang secara bersamaan terjadi di depan mataku. Motor yang saling menyerobot, pedagang yang sedih karena usahanya sepi, hingga beberapa toko yang telah ramai menyalakan lampunya.

Ada emosi yang masih terpendam. Barangkali kemarin aku rindu tapi hanya disimpan. Barangkali kemarin aku kesal atas permintaan tolong beberapa orang tapi hanya dikubur. Atau barangkali kemarin aku marah atas perkataan menyebalkan orang lain tapi hanya dielak. Semua emosi itu, perlahan aku uraikan, bersama jajaran rumah yang aku temui sepanjang jalan. Aku titipkan setiap emosi itu pada pintu-pintu mereka. Akan kuambil, kumaknai, dan kutelaah lagi keesokan harinya. Barangkali, malam ini tak bisa membuatku kembali tenang.

Sejenak, setelah ritual itu. Kian aku berkamuflase menjadi air yang mengalir. Aku takkan memaksa emosi apapun untuk ditahan sekeras mungkin. Tak perlu juga dielak. Cukup dikeluarkan, dirasakan, lalu dikendalikan. Aku bukan tidak boleh marah, tapi didorong untuk mengendalikan respons ketika marah. Aku bukan tidak boleh kesal, tapi didorong untuk menguraikan kesal menjadi penyelesaian jika perlu diselesaikan. Dan aku bukan tidak boleh lelah, tapi didorong untuk jeda sebentar dari lelah, mengistirahatkan diri dengan mengisi energi, lalu besok kembali bekerja seperti biasanya.

Mari menerima emosi. Tanpa ditahan agar kinerja diri lebih optimal. Mari mengendalikan respons setiap emosi, agar ledakannya tak menghancurkan diri secara perlahan.

— Storytelling — Akhyatun Nisa

Req, kritik, & saran (Anonim) : https://retrospring.net/@ayaa123

--

--

Akhyatun Nisa

Poetry | Essay | Opinion | Narration | Storytelling. For req, critics, and suggest, please DM me via IG (ayaa.ns_) or email (satukarya.ayaa@gmail.com)