Katanya, Semua Orang Juga Pernah Berduka

Akhyatun Nisa
3 min readDec 29, 2023

Semua orang pernah kehilangan, nggak usah berlebihan. Aku juga pernah kehilangan, ditinggal sama nenek dan kakek, misalnya"

Narasi itu aku dengar tatkala ruangan cukup sepi. Sembari menimbang bahan yang aku formulasikan, aku hanya bisa diam. Bukan karena aku tidak ingin terlalu memanjangkan narasi tersebut, tapi karena telingaku terlalu sakit untuk menampung kalimat destruktif tersebut.

Source : https://pin.it/3r0t1E6

Jika tolak ukur semua kejadian tidak menyenangkan yang didengar adalah "semua orang juga pernah", rasanya keinginan bercerita bisa berubah menjadi hal yang menjengkelkan.

Aku hendak menggambarkan lebih detail betapa menjengkelkannya hal tersebut.

1.
Aku : "Tau nggak sih, aku baru aja jatuh dari motor karena waktu belok, jalannya licin."

Dia : "Alah, semua orang juga pernah jatuh dari motor, aku juga pernah jatuh dari motor.”

2.
Aku : "Kemaren kayanya aku beli makanan yang cara penyajiannya nggak bersih deh, sekarang sakit perut."

Dia : "Hadeuh, semua orang juga pernah sakit perut. Nggak ada manusia di dunia ini yang nggak pernah sakit perut."

3.
Aku : "Kemaren aku di-bully ih di sekolah, padahal aku nggak salah apa-apa."

Dia : "Gitu doang, lebay deh. Semua orang kalo di sekolah juga pasti pernah sesekali diledekin, dibully, udahlah jangan baperan."

Dari beberapa dialog tersebut, aku yakin, kita sepakat bahwa respons tanpa simpati seperti itu adalah respons yang arogan. Adalah respons yang dominan merusak karena seolah segala hal yang terjadi adalah wajib dikomparasikan.

Padahal, dari beberapa cerita yang didengar sebenarnya cukup divalidasi emosinya, cukup didengar dengan memberikan pertanyaan bagaimana yang dirasakan pasca kejadian tersebut sudah cukup untuk menghidupkan percakapan. Sehingga obrolan tidak begitu tegang karena simpati tidak diikutsertakan. Apalagi, jika berkaitan dengan kehilangan. Rasanya cukup kejam saja jika kehilangan seolah disimplikasi lalu dikomparasi. Padahal setiap orang pasti berbeda cara menyikapi kehilangan. Perbedaan itu terjadi karena rasa sakit itu sifatnya personal. Seberapapun kita memiliki bayangan terhadap rasa sakit orang lain, tak bisa secara keseluruhan rasa sakit tersebut kita pahami. Tingkat pertahanan psikologis setiap orang juga berbeda sehingga terkait kehilangan atau berduka, fenomena yang sama sekali tidak pernah kita harapkan terjadi, terlalu sensitif jika semua duka disamaratakan.

Dari setiap cerita yang didengar, ke depan. Mari lebih bersimpati lagi. Karena dari kalimat tak menyenangkan, meskipun tak ada niatan menyakiti; bisa menjadi pisau yang terus menggores kepala orang lain sepanjang detik. Sepanjang kalimatnya terus bergemuruh di kepala, seolah emosi yang dirasakan tidak valid, seolah kejadian tidak menyenangkan tidak perlu dibagikan bahkan untuk sekadar melegakan.

— Opini Naratif — Akhyatun Nisa

Email : satukarya.ayaa@gmail.com

Note : Ini adalah tulisan terakhir di 2023. Jika ada kritik dan saran, tolong hubungi via email atau DM via IG. Terima kasih atas semua dukungan dan antisipasi teman-teman sekalian.

--

--

Akhyatun Nisa
Akhyatun Nisa

Written by Akhyatun Nisa

Poetry | Essay | Opinion | Narration | Storytelling. For req, critics, and suggest, please DM me via IG (ayaa.ns_) or email (satukarya.ayaa@gmail.com)

Responses (2)