Benang Kenang Yang Kusut, Semrawut

Akhyatun Nisa
3 min readMar 22, 2024

Aku adalah kamera handal sekaligus perekam yang ulung. Semua gerak-gerik manusia di sekitar kuperhatikan. Gemulainya tangan mereka ketika menimbang, tarian jemari mereka ketika menulis, ketukan kaki yang teratur tapi tekanannya acak ketika diletakkan di atas tumpuan kursi, hingga kalimat bentakan yang tak sengaja membuatku turut sakit telinga karena terdengar begitu memuakkan; semua terekam. Saraf antar sarafnya seolah memproduksi benang. Setiap hari, telah terlilin sehingga menghasilkan kain kenangan. Kenangan yang mungkin hanya mampu kutatap atau kusetrika jika kelak terlalu kusut karena sering kupintal atas nama gemas dan bosan.

Agenda hari ini merupakan agenda yang biasa terjadi. Meski semuanya seolah autopilot karena mau tidak mau jam 7.30 harus bergegas bekerja kemudian ketika sampai di lab harus menjadi subjek yang profesional menjalankan peran, entah mengapa; benang yang sempat kusetrika tadi malam tiba-tiba berantakan di kantong.

Kamu tuh gimana sih."

"Nanya, nanya, jangan diem aja!"

"Masa? Yang bener? Salah kayanya itu!"

Suara-suara itu lincah menusuk telingaku. Meski targetnya bukan untukku, benang kenangan dengan konteks nada dan suara yang persis seperti itu memilin diri. Berputar sedalam kantong jaslab, kemudian kusut karena terlalu dalam luka masa kecil, yang persis seperti itu masih belum sembuh.

Ah, tapi tidak. Aku tidak peduli. Kusembunyikan benang yang tak sengaja terpilin berantakan itu dalam tasku, segera aku tekan kuat menuju kompartemen paling bawah. Biar tiada satu manusiapun yang menyadarinya.

Menit demi menit berlalu. Berganti dari satu agenda ke agenda lain. Dari satu suara ke suara lain. Aku benar-benar muak! — perasaan merasa tidak dihargai, diragukan kemampuannya, dan ditindas, atas kejadian singkat beberapa detik yang menyenggol mereka ternyata tidak mampu sepenuhnya kusembunyikan. Benang dalam tas tadi justru tetap berseok-seok. Saling berebut untuk dapat keluar melalui celah-celah resleting tasku. Seolah mengatakan dengan lugas "Aya, Aya! Tolong, perhatikan kami dulu, kami tak sanggup memilin terlalu keras sehingga berantakan!".

Source : https://pin.it/2SIG9P2hL

Tak ada cara lain. Tanganku pada akhirnya kembali mengambil benang dalam tas yang sudah terlalu berantakan. Bersamaan dengan jarum yang siap merapikannya, aku memutuskan untuk meliukkan senam jemari, menulis di notes perangkatku.

Dear, Aya. It’s oke. Tolong kali ini jangan terlalu tersulut. Masih ada beberapa jam lagi kamu berjuang di atas tuntutan profesionalitas. Jika ingin berontak, menyepi sebentar lalu kembali bekerja. Jangan terlalu lama.

Catatan itu begitu sepele jika dibaca oleh pasang mata orang lain. Tapi cukup meregulasi emosiku.

Kembali setelah beberapa menit aku membaca itu, benang kenangan kusimpan. Kali ini bukan dalam tas. Justru di dalam buku catatanku, di atas meja kerjaku. Sengaja, agar aku merasa ditemani. Sebut saja; agar semua luka masa kecil kusadari tanpa perlu dicegah untuk dimusuhi.

Kian, setelah tulisan ini berakhir kuputuskan untuk dipublikasi, kain hasil benang yang telah rapi terpilin masih di sampingku. Detail seratnya benar-benar kuperhatikan. Kuberikan senyum sumringah sesekali. Karena hari ini, pada akhirnya terlewati tanpa gaduh berlebihan. Tanpa emosi yang mengganggu kebanyakan orang.

— Storytelling — Akhyatun Nisa

--

--

Akhyatun Nisa
Akhyatun Nisa

Written by Akhyatun Nisa

Poetry | Essay | Opinion | Narration | Storytelling. For req, critics, and suggest, please DM me via IG (ayaa.ns_) or email (satukarya.ayaa@gmail.com)

No responses yet